Esti Destikarani

I am an Architect

Esti Destikarani

Only a place for express all thoughts into a set of indefinite letters. Hoping to be useful, but being self complacent is very meaningful for me. Thank you, to spend a few minutes just to open this site. Hopefully there's no regret and keep the "kepo" grows to read more articles or sharing stories that I've posted. Its an honor for me if you leave a trail by commenting below the posts. Happy reading and enjoy, Esti.

  • Bandung City
  • +62853-1455-5953
  • edestikarani@gmail.com
  • www.wap-jett.blogspot.co.id
Me

My Professional Skills

I am very good at making dreams but still not ready to wake up and achieve everything I have dreamed of. My time is always used to think about everything. Deeply imagining something satisfying. Because I think everything starts as a dream, but unfortunately its requires ACTION to become true.

AutoCad 80%
SketchUp 90%
Vray for Sketchup 80%
Adobe Illustrator 85%
Adobe Photoshop 85%
Corel Draw 90%
Microsoft Office 90%

Tentang Arsitektur

Kesoktahuan diri ini yang hanya ingin bercakap-cakap tentang arsitektur walaupun ilmunya belum ada apa-apanya. Sharing aja gimanah?

Tentang Travelling

Ah, ini sih cuman konten jalan-jalan biasa. Doain ya, semoga bisa "travelling beneran". Pasti di post deh :)

Curhat Session

Blog ini isinya 1% ilmu, 99% curhat. Jadi buat apa kalian datang haha. Gak deng bercanda. Terimakasih telah berkunjung, luv luv :*

Tentang Portofolio

Berusaha menjadi wanita yang produktif. Cobalah lihat keproduktifan diri ini. Semoga menghibur :')

Hanya Cerita Lampau

Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarahnya. Begitupun kita sebagai manusia. Apadah wkwk

Artikel Bermanfaat

Nah yang ini semoga beneran bermanfaat ya.

0
Proyek Desain
0
design award
0
facebook like
0
current projects
Tampilkan postingan dengan label esti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label esti. Tampilkan semua postingan
  • Pendakian Gunung Gede dari Bandung Via Gunung Putri #1


    Pendakian yang cukup rempong ini berawal dari niatan aku dan seorang rekan kerjaku yang pengen ngerayain tahun baru dengan nuansa yang berbeda. Karena kami berdua dari dulu memang penikmat alam, cieh, kami memutuskan untuk tahun baruan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sekaligus merayakan hari ulang tahunku yang ke 17 ceritanya (17++). Niatan itu sudah tercetus kurang lebih sebulan sebelum pendakian. Akhirnya kamipun mengajak rekan-rekan yang lain hingga terkumpul sudah 14 orang yang akan ikut berangkat menuju Gunung Gede. Salah satunya adalah bosku di kantor. Waw, ini sungguh akan menjadi pengalaman luar biasa pikirku.
    Ternyata, dapat info dari temanku bahwa sebelum memulai pendakian ke TNGGP ini kita perlu registrasi online terlebih dahulu dengan mengisi beberapa data diri, surat pernyataan, dan administrasi lainnya yang bakal aku jelasin di bawah ini.
    Cara Daftar TNGGP
    Oiya buat temen-temen yang ingin coba untuk kesana wajib mendaftar via online ke website resmi TNGGP ya. Atau kalian bisa klik linknya disini <> Setelah itu kalian bisa membaca syarat dan ketentuan untuk berkunjung kesana baru setelah itu mengisi form pendaftaran dengan melampirkan beberapa identitas diri dan upload foto KTP. Setelah pendaftaran selesai dilanjut dengan proses pembayaran simaksi sejumlah Rp 35.000,00 yang ditransfer ke rekening admin TNGGP. Setelah semua prosesnya selesai. Kalian tinggal tunggu validasi dari pihak TNGGP yang masuk ke email kalian. Setelah itu kalian perlu mendownload surat pernyataan pendaki yang diisi oleh ketua rombongan kemudian ditandatangan dan diberi materai. Kalian juga perlu mendownload form sampah dan mengisi sesuai benda-benda apa saja yang akan menghasilkan sampah. Misalnya saat itu kalian membawa mie instant dan chiki-chiki, tinggal kalian tulis saja pada formnya mie instant sekian buah dan chiki sekian buah. Tapi sepertinya di musim covid ini pendakian ke TNGGP ditutup sementara.
    Setelah sukses mendaftar akhirnya selama sebulan kami mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, terutama latihan fisik karena mendaki sangat membutuhkan stamina tubuh yang sehat dan kuat. Selama satu bulan penuh saya rutin berolahraga minimal lari keliling GBLA atau sepedahan keliling komplek atau pait-paitnya kalau lagi mager saya hanya strecting selama 10 menit di kamar. Yaa semua itu dilakukan supaya tubuh tidak shock saat mendaki. Akupun menyiapkan beberapa peralatan seperti matras, tenda, carrier, sepatu, jas hujan, dan kebutuhan lainnya. 
    Alat tempurku
    Hingga tak terasa hari keberangkatanpun akan segera tiba. Persiapan alat pribadi maupun kelompok sudah dipersiapkan dengan matang. Kali ini aku benar-benar berusaha tidak ada satu barangpun yang tertinggal. 
    27 Des 2019
    Keesokan harinya, tepatnya Jumat, 27 Desember 2019. Aku berangkat kerja seperti biasa. Rencana awal yang tadinya setelah berangkat kerja langsung menuju Terminal Leuwi Panjang pun dibatalkan. Alhasil sekitar pukul 14.00 aku pulang dulu ke rumah untuk mengambil perlengkapan, untungnya rumahku tidak jauh lokasinya dari tempat aku bekerja. Kurang lebih pukul 17.00 temanku datang untuk menjemputku dan kami akhirnya naik motor menuju ke terminal Leuwi Panjang. Rintik-rintik hujan dan macetnya Kota Bandung kala itu tidak melunturkan semangat kami untuk pergi.
    Setelah sampai di terminal, kami bertemu dengan beberapa teman yang sudah tiba terlebih dahulu disana. Ada Kang Sogin, Sandi, Doni, dan Pak Adi. Bersamaan dengan kedatanganku, Pak Ary yang adalah atasanku dikantor juga sampai. Pak Ary ini usianya sudah tidak terbilang muda lagi namun semangatnya masih gigih. Katanya "Saya gaakan pernah naik gunung lagi kalau gak diajak kalian. Mana ada yang seumuran saya naik gunung". Ya, usianya waktu itu 59 tahun. Cukup khawatir awalnya, namun ternyata beliau memiliki semangat juang yang tinggi melebihi kami-kami kaum muda. Setelah itu, Bu Ana dan Kang Elmy pun tiba. Berarti tinggal menunggu 1 orang lagi, Hena. Hari itu tepat sekali dia melangsungkan sidang skripsinya. Katanya dia akan ikut tapi agak telat karena menunggu yudisium. Oiya, Hena, Pak Adi, dan Kang Sogin ini satu almamater denganku di Universitas Pendidikan Indonesia. Tapi kami beda angkatan. Sedangkan Sandi dan Doni adalah teman dari Pak Ridwan. Aku juga beru mengenal mereka berdua hari itu. Oiya Bu Ana dan Kang Elmy ini ternyata cemewewan ihi. Aku juga baru mengenal Kang Elmy saat itu. 

    Adzan maghrib berkumandang, kami memutuskan untuk mencari mushola dan sembahyang sambil menunggu kedatangan Hena. Sambil menunggu, setelah sholat magrib kami berkumpul di depan mushola yang juga terdapat warung kecil-kecilan. Beberapa temanku sempat memesan kopi hangat untuk menambah stamina. Akhirnya Henapun datang bersamaan dengan wajah sumringahnya karna sudah menyandang gelar S.Pd. Saat itu juga aku langsung mengucapkan selamat kepadanya. Ah aku jadi rindu masa-masa yudisium saat itu.

    Menuju bus untuk berangkat ke Cianjur
    Gak pake lama setelah kedatangan Hena, Pak Adi, segera mencari bus menuju Cianjur saat itu. Beruntungnya kami karna bus yang kami tumpangi adalah bus terakhir yang menuju sana. Setelah memakan perjalanan selama kurang lebih 3 jam kami tiba di Terminal Rawa Bango. Saat itu sekitar pukul 11 malam kami turun dari bus dengan wajah kusut karna baru bangun dari tidur. Sialnya saat itu aku mual dan hampir muntah karna perjalanan yang berkelok terlebih sudah lama sekali rasanya tidak memakai kendaraan umum.
    Pak Adi pun melancarkan aksinya kembali. Ia mencari kernet angkot yang bisa membawa kami menuju ke Gunung Putri tentunya dengan tarif seminimal mungkin. Skill sepik yang patut diacungi jempol. Aku dan yang lain hanya tinggal menunggu Pak Adi bilang "Yo yo, masuk yoo" sambil menggerakkan tanggannya seolah mengarahkan kami masuk ke dalam angkot. Kami berdempet-dempetan di dalam angkot dengan sebagian besar space angkot dipenuhi oleh barang bawaan kami yang sungguh tidak kecil dan tidak ringan tentunya. Yang paling menderita tentu yang duduk paling pojok belakang. Karena sudah kakinya tertindih carier, badannya tergencet oleh badan kami pula. Yaa, apaboleh buat. Untungnya bukan aku yang berada di posisi itu.
    Aku kira perjalanan menuju Gunung Putri itu sebentar, ternyata lumayan lama juga dan kami diberhentikan di Ramayana karena harus ganti angkot. Supir kami yang sebelumnya ternyata tidak bisa mengantar kami sampai ke lokasi. Tapi tak lama angkot pengganti kami sudah datang, dengan kapasitas yang sedikit agak lebar sehingga membuat kami cukup leluasa saat itu. 

    Oiya, saat itu aku mengajak teman kuliahku juga untuk ikut pendakian. Namanya Desi. Dia datang dari Cilegon dari tempat kerjanya dan kami janjian langsung di pertigaan dekat Istana Cipanas. Saat itu setelah aku tanya keberadaannya ternyata dia sudah sampai di lokasi dan akan menunggu di warung pecel lele simpang. Desi ini orang yang aku kenal sangat mandiri. Mungkin dari sekian banyak teman wanita yang aku kenal, dia sangat pemberani. Buktinya ia tak takut berpergian ke luar kota sendiri. Dia juga seorang yang mudah beradaptasi. Jadi aku tak perlu repot-repot untuk menemani dia, karena dia sangat mudah bergaul.
    Setelah sampai di persimpangan dekat Istana Cipanas, aku yang awalnya hendak turun untuk menjemput Desi di warung makan pecel lele malah didahului oleh Pak Ridwan yang sebegitu cepatnya hingga ia bergegas langsung turun dari angkot menjemputnya sebelum aku yang turun dari angkot. Aneh pikirku. Aku yang temannya Desi kenapa Pak Ridwan yang begitu antusias menjemput. Padahal sebelumnya mereka tidak saling kenal. Bercakappun hanya via whatsapp untuk membahas soal persiapan pendakian. Ah, entahlah. Segera aku susul dia karena khawatir salah orang. Sebelum aku sampai di warung pecel lele, aku melihat Pak Ridwan tampaknya tidak salah orang dan mengucapkan sepatah dua patah kata kepada teman kuliahku itu. Mungkin salam perkenalan atau sekedar bertanya "Hai kamu Desi ya?". Ih aneh pikirku, harusnya kan aku duluan. So akrab banget sih si Pa Ridwan ini. Apa jangan-jangan mereka... Ah sudahlah aku tak ingin berpikir macam-macam saat itu. Aku segera menyapa temanku Desi dan mengajaknya bergegas masuk ke dalam angkot karena hari sudah larut malam.
    ...

  • Menjelajah Pelosok Bandung, Ranca Suni, Keindahan yang Terkikis Waktu

    Cita-cita Ibuku yang entah sejak berapa tahun lamanya ingin segera pergi mengunjungi tempat ini namun baru terwujud baru-baru ini.
           ___________________
    Ibuku adalah seorang wanita paruh baya yang lahir di tengah perkebunan teh. Ia terbiasa hidup ditengah hembusan angin gunung dengan semerbak wewangian daun teh. Hidup berdampingan dengan petani dan juragan-juragan pabrik yang kental dengan nuansa didikan belanda. Dulu Ibuku lahir di sebuah daerah bernama Gunung Mas di Bogor. Ayahnya yang juga adalah Kakekku adalah seorang yang ahli dalam berkebun dan paham betul bagaimana mengelola teh dari mulai proses pembibitan hingga proses ekspor teh. Kakekku hingga saat ini yang usianya hampir 85 tahun, tidak pernah lupa akan kenangannya memimpin sebuah pabrik teh. Bahkan kenangan itu terus diceritakan kepada cucu-cucunya termasuk aku berulang kali sampai aku bosan. Tapi salahnya aku, hanya mendengar tanpa melibatkan perasaan. Padahal ketika Kakekku bercerita yang ia ingin sampaikan adalah perasaan rindu ingin kembali ke masa itu. Masa ketika muda yang sehat, yang kuat, yang penuh dengan tantangan. Sama seperti aku merindukan teman-temanku yang ahh.. sudahlah, banyak sekali yang pergi. Pergi dengan pasangan-pasangannya, pergi dengan kesibukannya, dan memilih jalan masing-masing. 

    Menghabiskan waktu bertahun-tahun di Gunung Mas, suatu ketika Kakekku diharuskan untuk pindah tugas. Ia sempat dipindahkan ke Perkebunan Teh Panjang, lalu Cikopo, dan Perkebunan Gedeh, hingga yang terakhir ke Bandung tepatnya di Ciwidey. Sebuah pelosok desa yang indah, sejuk, sungai mengalir dengan jernihnya, burung-burung dan suara binatang-binatan lain masih terdengar jelas. Ditengah kesunyian kampung yang berwajahkan Sunda, lengkap dengan rumah berdinding bilik dengan teras depan berlantai kayu. Kampung itu bernama "Ranca Suni".

    Sewaktu Kakekku dipindahkan dari Bogor ke Ranca Suni, Ibuku terpaksa ikut meskipun masih berusia sangat kecil. Ini lah tempat Ibuku bermain dan menghabiskan waktu kecilnya sebelum Ia pindah lagi ke lain kota. Menurutnya tempat ini sangat berkesan. Karena diingatannya dulu begitu indah. Sebuah tempat yang nyaman yang takan lagi kita temukan di kota-kota jaman sekarang yang penuh dengan hiruk pikuk kesemrawutan. Di sini tempat tinggal Ibuku dan Kakekku sangat berdekatan dengan pabrik tempat Kakek bekerja. Bahkan Ibuku bisa melihat dari jendela ketika kakek sedang kerja di ruangannya. Saking indahnya saudara-saudaranya yang berada di kota sering berkunjung ke sini hanya untuk botram atau sekedar silaturahim. 

    Ranca Suni ini tempatnya sangat tersembunyi karena berada di lembah. Dikelilingi gunung-gunung dan perkebunan teh yang berada lebih tinggi daripada perkampungan. Wajar bila disini udara selalu dingin bahkan bisa mencapai 17 derajat. Sambil aku mendengarkan cerita Ibuku, aku membayangkan betapa serunya saat itu. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, aku baru bisa mewujudkan keinginan Ibuku untuk bisa pergi kesana. Melihat-lihat rumah masa kecilnya dan tempatnya bermain.

      ___________________
    Sebelum pergi kesana aku sempat berdebat dengan Ibu karena lokasi yang belum pasti. Lokasi yang ada diingatan Ibu ternyata berbeda dengan lokasi yang berada di google maps. Akupun bingung harus percaya yang mana. Ibuku sudah pergi meninggalkan tempat itu puluhan tahun lamanya wajar bila ia lupa dan kecanggihan teknologi terkini pun tidak bisa aku pungkiri ketepatannya. Akhirnya kami memutuskan pergi dengan percaya pada google maps. Kakakku yang menjadi supir agak kewalahan dengan jalan yang diarahkan peta online ini. Karna jalannya berliku, naik dan turun serta tak nampak sama sekali ada tanda-tanda keberadaan kebun teh. Sama sekali bukan yang ada dalam ingatan Ibu. Setelah sampai di titik tujuan yang google maps arahkan, ternyata bukan ini tempat itu. Sepertinya kami tersesat dan terpaksa berbalik arah. Kami pun melalui jalan naik dan turun itu lagi hingga sampai ke jalan utama. Kami akhirnya memutuskan untuk bertanya ke warga sekitar dan ternyata kami tersesat lagi untuk keduakalinya. Kami malah terlalu jauh mengambil jalan bahkan hampir ke Cianjur. Untungnya di tengah jalan kakakku berhenti dan kembali bertanya pada pedagang warung, ternyata kelewatan katanya. Kami pun kembali berbalik arah. 

    Akhirnya setelah melalui perjalanan yang panjang kami menemukan secercah harapan ketika kami melihat penunjuk arah bertuliskan "Ranca Suni". Dan dari situ ingatan ibuku kembali muncul hingga sampailah kami ke sebuah desa yang sangat historistik. Aku sebagai pecinta bangunan-bangunan bersejarah ketika dibawa ke tempat seperti ini imajinasiku akan kehidupan di masa lalu tiba-tiba muncul. Aku terkagum dan merasa seperti ada di tempat yang asing yang begitu asri. Namun ketika aku melihat raut wajah Ibuku, justru Ia terlihat berbeda. Ternyata Ranca Suni yang sekarang tidak seperti yang diharapkannya. Iya, tidak seperti dulu, tidak seindah kala itu. 
      ___________________

    Pabrik pengolahan teh milik PTPN yang kondisinya sangat memprihatinkan. Sama sekali tidak direnovasi dari dulu hingga kini. Mesin-mesin tampak berkarat namun dipaksakan tetap berjalan. Sebagian kacanya pecah bahkan lepas dari kusennya dan didiamkan begitu saja. Dinding yang sepertinya tidak pernah lagi di cat ulang hingga warnanya begitu kusam. Akupun tak melihat begitu banyak pekerja disana. Yang aku lihat hanya sebuah mesin besar sedang berputar menggiling dedaunan teh. Disebrang pabrik itu dulunya adalah bengkel kini terkesan kosong bak rumah hantu hingga gentengnya pun diselimuti lumut. Bentukannyapun tak lagi kokoh. Akupun penasaran dengan rumah yang dulu ditinggali oleh Ibu dan Kakekku. "Ti, dulu rumah Ibu ada disana (sambil menujuk). Tapi sekarang ko gaada ya. Ibu inget banget dari rumah ke pabrik itu keliatan dan gak jauh." Ternyata rumah itu hanya tinggal bongkahan-bongkahan batu bata yang hampir rata dengan tanah karena sudah dihancurkan. Kami tertegun beberapa menit tepat di depan rumah yang dulu Ibu tinggali. Aku rasa Ibu ingin menangis, terlihat kesedihan di raut wajahnya. Rumah-rumah lain milik petani teh kini tampak lebih mirip gubuk tua yang reot tak seperti dulu yang kental dengan budaya lokal bernuasa Sunda. Sejenak Ibuku berbincang dengan warga yang sedang bercocok tanam dihalaman depan rumahnya. Warga disana sangat ramah meskipun kami pengunjung dari luar. Tak terhitung jumlah rumah yang ada disini namun kondisinya hampir sama. Nampak pula sebuah bangunan besar seperti bangunan serbaguna yang dipakai untuk GOR dan TK begitu tak terawat. Sungai yang dulu indah kini tak terawat hingga ditumbuhi rumput-rumput liar di pinggirannya, namun airnya masih tetap jernih mengalir diantara bebatuan besar. Dari kejauhan masjid terlihat bersih namun fasilitas sangat jauh dari kata nyaman. Kami memang tidak masuk ke area sholatnya, namun kami melihat2 kamar mandinya yang ternyata kotor dan bahkan pintu-pintunya pun rusak. Ah ini bukan seperti dulu ketika Ibuku tinggal disini. Sangat jauh berbeda.

      ___________________
    Tapi dibalik kekecewaan Ibu, aku bersyukur bisa membawa Ibu kemari sampai rasa penasarannya sudah hilang. Sejujurnya akupun agak miris karena sekelas perusahaan BUMN kondisinya tidak sebaik yang aku kira. Padahal produksi teh di Indonesia sangat maju dan bisa sampai ekspor ke negara lain. Ranca Suni-pun sangat potensial jika dijadikan tempat wisata seperti perkebunan teh yang lain. 

    Kami berkeliling desa itu sambil berfoto-foto ria dan akhirnya kami pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. 

    Ranca Suni, semoga ada orang baik yang bisa memajukan desa ini jadi seperti dulu lagi.
    Satu lagi keinginan Ibu, untuk bisa melihat Gunung Mas di Bogor. Insya Allah ya Bu, pasti kita kesana. Kalau sekarang keadaannya masih seperti ini dan tidak memungkinkan buat berpergian. Mudah-mudahan Gunung Mas tidak seperti Ranca Suni ya Bu :)


    Bangunan GOR, TK dan GSG Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Rumah dinas pejabat pabrik teh perkebunan Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Nampak dari kejauhan rumah-rumah penduduk berjajar rapi. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Kami yang sedang asyik menyusuri jalanan Ranca Suni. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Jembatan yang melintang di atas sungai. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Salah satu kondisi rumah warga. Nampak sekali banyak kerusakannya :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Pintu masuk GOR Rancasuni. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Dari kejauhan Masjid tampak kokoh meskipun kubahnya tak lagi bersinar seperti dulu. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bayangkan jika ini rumah kalian :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Ini adalah kondisi sungai yang tertutup rumput liar. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bangunan yang dijadikan tempat penyimpanan benda-benda tak terpakai sampai seperti ini kondisinya. Menyedihkan :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Indahnya Ranca Suni dari atas. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    TK Tunas Karya II Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Apa yang ada di benak kalian wahai arsitek? (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Masuknya lewat mana ya? (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Rusak dimana-mana. Horor banget kayanya ini. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bekas bengkel yang lebih mirip rumah hantu. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)










  • Papandayan, Trip Pertama saat Masuk Kuliah #2

    Bagi yang belum baca part 1, bisa klik link di bawah ini ya.

    Sebenernya heran juga kenapa bisa ikut sih, baru kepikiran sekarang. Padahal saya sejujurnya gak terlalu deket sama mereka waktu itu, tapi saya mau2 aja haha. Bukan anak yang aktif banget himpunan atau anak yang eksis di angkatan, tapi yaa diajakin mau gimana lagi haha. Sebagian orang juga gak nyangka kenapa saya mau ikut ke gunung. Padahal katanya gak ada muka2 suka manjat tuh. Hmm.. masa ya :( Apa wajah ini terlalu manja :( 

    Cus lah setelah beristirahat di masjid yang berada di Simpang Cisurupan tersebut kami melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil pickup bersama pendaki lain. Waktu itu kalau tidak salah ongkosnya sekitar 20.000 rupiah/orang. Lagi-lagi saya duduk di depan bersama supir haha. Perjalanannya agak berkelok-kelok dan supir yang saya tumpangi waktu itu sepertinya mantan pembalap F1, serem :( Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu kurang lebih 15 menit-1/2jam (lupa2 inget). Disana mobil sama sekali sudah tidak bisa masuk dan itulah saatnya kami mendaki :)))) Yang paling ditunggu-tunggu yuhuuu. Aura-aura belerang sudah mulai terasa. Udara dingin sudah mulai merambah ke kulit dan wajah. Bebatuan sudah mulai terlihat dimana-mana. Ah rindu sekali rasanya. Lalu kami turun dari pickup dengan membawa perlengkapan dan carier. 

    Ini ceritanya baru banget nanjak.
    Sebetulnya Gunung Papandayan ini menurut saya sangat ramah untuk pendaki yang masih baru2. Karena medannya gak terlalu nanjak. Selain itu jalannya pun cukup besar. Namun perlu berhati-hati karna dilokasi itu jalannya penuh bebatuan dan kerikil. Kalau jatoh lumayan sih. Dan yang saya sukai dari gunung ini yaitu viewnya. Saking cantiknya lelah mendakipun kebayar lah pokonya.

    Kami berjalan sekitar hampir 2 jam untuk sampai ke Kawah Papandayan. Karena gunung ini merupakan gunung api yang masih aktif, disini terdapat beberapa kawah yang bisa kita nikmati dari kejauhan ya guys. Dari jauh saja bau belerangnya sudah tercium pekat. Oya disarankan sekali untuk bawa masker bagi yang gak tahan dengan bebauan.

    Ini sebagian kecil kepulan asap yang keluar dari sela-sela bebatuan
    Dulu, guru saya pernah bilang, ketika kamu memutuskan untuk mendaki, mendakilah semata-mata untuk mengagumi keagungan dari cipataan Tuhan. Bukan untuk sekedar gaya-gayaan yang ujungnya malah merusak alam. Mendakilah karena kamu dilahirkan di bumi, bukan di mars. Ketahuilah tempat dimana kamu berpijak. Karena bumi bukan hanya sekedar antara rumah dan sekolah. Bumi itu indah dan luas. Dan gunung hanya sebagian kecil keindahan yang bumi punya.

    Emang betul sekali guys. Kemanapun kita pergi, kita harus banyak-banyak mengucap MasyaAllah tanpa henti sepertinya. Karna bumi itu indah banget T_T
    Ditengah perjalanan, kami menemukan aliran sungai yang airnya jernih banget. Ternyata di gunung ini juga terdapat sumber mata air. Karena kami merasa sudah mulai lapar, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di atas bebatuan di pinggiran sungai sambil menyantap bekal yang kami bawa. Sebenernya saya agak deg-degan buat istirahat deket sungai. Karena waktu itu sedang musim hujan, saya khawatir aliran sungai tiba-tiba deras dan kamu terbawa arus dan hanyut entah kemana. Takut akutu, tapi engga untungnya haha.
    Lihatlah saya egois banget makan pake misting sendiri disaat yang lain makan pake kertas nasi wkwk. Im sorry guys.
    Foto bareng dulu biar OK :) Mapin mukanya rada hilang kendali jadi diblur :(



    Nah, jadi di Gunung Papandayan ini sebenernya kita kaya cuma bisa kemping di satu daerah aja. Mungkin daerah itu dianggap paling savety buat pendaki untuk bermalam. Namanya "Tegal Alun" Memang di Tegal Alun ini ternyata kondisi jalannya tidak seekstrem saat awal mendaki dan juga disini ternyata terdapat beberapa fasilitas pendukung seperti warung dan toilet. Jadi jangan khawatir pokonya. Disana juga kalian pasti bakal nemuin banyak pendaki lain yang berkemah. Lumayan bisa jadi ajang buat nambah temen. Temen loh ya, temen hihi.
    Di sana kami juga mendirikan tenda di tempat yang agak menjauh dari pendaki yang lain biar lebih privat wkwk. Kami mendirikan tenda diantara pohon2 gitu jadi letaknya agak tersembunyi. Kami disana bebas membuat api unggun dll asal tetap menjaga kebersihan setelahnya. 
    Perjalanan selanjutnya setelah mendirikan tenda yaitu menuju ke tempat yang paling hits banget di Papandayan. Iya, Hutan Mati namanya. Inilah saat yang tepat untuk berfutu-futu ria. Siapkan style terkecemu ya kalau kesini. 
    Salah satu sudut hutan mati
    Jadi konon katanya kenapa disebut sebagai hutan mati itu karena dulunya disini itu merupakan hutan pohon cantigi, namun hutan ini terkena letusan maha dahsyat Gunung Papandayan pada tahun 1772 dan akhirnya rata dengan abu vulkanik. Konon juga penduduk di sekitar terendam abu vulkanik. Waw, ngeri.

    Kawasan hutan mati yang dilihat dari sebrang bukit nih guys, keren banget kan MasyaAllah ;') (Abaikan muka yang menghalangi ini)

    Spot terakhir yang wajib dikunjungi yaitu ladang bunga Edelweiss (Tegal Alun). Bunga abadi yang luar biasa cantiknya. Edelweiss, Edelweiss, everymorning you great me. Small and white, clean and bright, you look happy to meet me... Jadi inget pramuka jaman smp  :') Yah kalian wajib kesini ya. Tapi sayangnya treknya memang agak sulit untuk dicapai. Jalannya lumayan sempit dan nanjaknya agak curam. Entah waktu itu yang kami lalui adalah jalan yg salah atau memang itu jalannya. Jalannyapun agak licin karna hujan.

    Hamparan ladang Edelweiss di Tegal Alun
    Jadi setelah sampai di puncak Tegal Alun, kita bakal disuguhi dengan hamparan semak-semak Edelweiss dan bukit-bukit hijau sepanjang mata memandang. Sedih banget rasanya pas denger kalau ladang ini kebakaran :( Gimana cara matiin apinya coba? :(

    Yah mungkin pengalaman yang aku ceritain disini gabisa ngegambarin pengalaman realnya. Yang pasti kalau pengen tau gimana sih indahnya Gunung Papandayan, dateng langsung aja kesana!

    Jadi, ini ceritaku, mana ceritamu? Mhehe

  • Begin to Build Something New

    Hai!
    Gimana puasanya nih? Moga dilancarin, moga puasanya berkah ya. Jangan loyo-loyoan, harus tetep semangat meskipun laper dan haus. Jangan jadikan puasa sebagai alesan, malah produktivitas harus tetep meningkat ya mentemen. Sambil ngisi waktu ngabuburit aku pengen share pengalaman lagi nih. Karena sebaik-baiknya guru adalah pengalaman, betul?
    Mungkin sebagian temen2 yang udah lulus dari kuliahnya terutama dari jurusan arsitektur juga pernah ngerasain hal yang sama atau bahkan berbeda. Mungkin ada yang habis lulus pengen berubah 180 derajat dan gak mau lagi ketemu sama yang berbau2 arsitektur, atau ada juga yang pengen lebih aktif dengan kerja di dunia ini dan lanjut S2 misalnya. Tiap orang punya pilihan masing-masing. Tapi untuk aku pribadi, sepertinya setelah menjalani kuliah selama 4,5 tahun yang penuh drama dan menghabiskan biaya yang gak sedikit sepertinya saya memutuskan untuk berusaha sekuat tenaga untuk tetep ada di dunia ini sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Dulu sih mikirnya karena bukan berasal dari keluarga yang kaya raya (tapi alhamdulillahnya Allah selalu mencukupi setiap kebutuhan kuliah) aku selalu ngomong dalem hati kaya gini "Nanti, kalau pas kerja pokonya harus dapet duit minimal seharga orang tua ngebiayain kuliah. Pokonya harus balik modal.Titik.". Yaa mungkin sekelas arsitektur di UPI sih gak semahal di UNPAR/ITB ya persemesternya, tapi setidaknya aku ngerasain gimana capenya ortu cari uang. Dimana pas uang semesteran harus dibayarin, aku harus ngomong sebulan/dua bulan sebelum jatuh tempo pembayaran, biar ortu ancang2 nyiapin biayanya dan biar gak kepake tu duitnya. Dan belum lagi biaya keseharian, ngeprint, beli bahan2 maket, seminar2, kebutuhan buat makan, dll yang ternyata gak murah juga. Alasan itu lah yang membuat aku semakin matang sepertinya setelah lulus aku harus cari uang dulu, bukan kuliah lagi. Daaan, alhamdulillah hari ini aku kerja di perusahaan developer di Bdg meskipun masih jadi anak bawang. Hiks.
    Awal mula kenapa bisa kerja, padahal kan jaman sekarang cari kerjaan tuh susah bingit kaya nyari jodoh.

    Hmm, ini sebenernya balik lagi ke do'a dan ikhtiar dan faktor lucky kita ya guys. Kalo aku pribadi kayanya emang lagi hoki aja. Justru waktu itu aku udah ngirimin lamaran untuk magang kerja di perusahaan yg skrg aku kerja itu dari pas aku belum lulus kuliah. Pas lagi butek-buteknya ngerjain TA. Duh, TA gak beres2, jenuh, pengen nyobain kerja aja. Cape tapi dapet uang. Kalo kuliah cape iya dapet uang ngga. Gitutuh aku mikirnya. Emang money oriented banget haha. Dan aku kiriminlah CV yang aku bikin dadakan cuman 2 jam ke HRDnya via email. Tapi emang jawabannya gak langsung sih. Aku nunggu beberapa bulan baru ada jawaban. Untungnya di waktu nunggu jawaban itu, aku lupa kalau aku ngirim lamaran magang. Jadi aku gak terlalu ngarep juga biar kalau gak diterima gak sakit hati banget. Aku fokus lagi ngurusi TA biar cepet beres. Alhamdulillah, tgl 28 Desember 2018 resmi lulus sidang sarjana arsitektur dan tanggal ini jadi tanggal bersejarah banget karena pas detik2 terakhir beres presentasi sidang, aku malah nangis depan dosen. Malu banget sumpah wkwk. Hari itu juga jadi kado terindah buat diri aku sendiri karena besoknya, tgl 29 aku ulang taunnn, yeaaa im so happy :') Mungkin ini alasan Tuhan melambatkan aku untuk lulus tepat waktu wkwk.

    Barulah di bulan berikutnya di tanggal 14 Januari saat masih ngurus2in persyaratan setelah sidang ada email balasan dari HRD masuk dan diundang untuk interview. Yampun im shocked. Langsunglah dikebut untuk beresin persyaratan meskipun ada bbrp yang belum tapi berusaha untuk fokus ke interview dulu. Karna sebelumnya belum pernah sama sekali diinterview jadi aku harus belajar banyak dari internet, nanya2 ke orang, dll. And Im ready for it. Untungnya ada seorang temen sekelas juga yang ternyata ngirimin lamaran magang ke perusahaan yg sama. Jadi kami berdua berangkat bareng untuk interview. Pengalaman interviewnya juga cukup panjang sih kayanya harus dibikin postingan khusus juga buat ngebahas soal itu. Tapi intinya salah satu dari kita harus ada yg tereliminasi karena perusahaan cuman butuh seorang buat gantiin posisi karyawan yang lagi cuti melahirkan selama 3 bulan. Hmm, okay, disitu aku emang langsung sama sekali gak ngarep buat aku yg kterima disitu. Aku ikhlas banget kalau temen aku yg masuk. Aku emang ngerasa belum ada apa2nya dibanding temen aku yg itu. Mungkin kalau gak kterima aku mau belajar lagi, ngulangin matkul2 yang udah aku lupain, atau nyari uang dari freelance2. Ehh, taunya yang keterimanya aku guys :')
    Setelah itu aku lanjut interview ke-2 bareng HRD. Aku gak ngerti lagi kenapa untuk proses magang harus seketat ini. Mulai dari tes kemampuan software, presentasi portofolio, sampai interview bareng HRD. Padahal kan cuman magang 3 bulan doang. Mungkin kebijakannya memang seperti itu ya. Setelah interview ke-2 beres, barulah tanggal 21 Januari sy resmi kerja magang di perusahaan itu.
    Hari pertama..

    Wow, hari itu aku sangat berekspektasi lebih dengan teman-teman baruku. Tapi ketika masuk ruangan aku terkedjoet melihat mereka yang ternyata cowo semua. Hiks. Kiri kanan bapa2. Bapak2 everywhere. Sebenernya gapapa sih banyak temen cowo, wajar karena dunia arsitektur sebagian besar isinya cowo semua. Tapi ini satupun gaada :( Atulaa nanti aku curhat2an sama siapa. Tak mungkin juga aku curhat dengan mereka yang sudah beranakistri wkwk. Bismillah, akupun menarik napas panjang untuk menerima kenyataan ini. Akupun agak shock berat ketika menyadari bahwa ruangan kantorku ini bener2 gak ada suaranya sama sekali. Gaada yang ngobrol atau bercanda. Sungguh sangat sepi krik krik. Mungkin mereka terlalu profesional sehingga saat jam kerja mereka memang fokus di pekerjaannya masing-masing. 
    Sebulan dua bulan berlalu aku mulai bisa adaptasi dengan lingkungan baru. Mulai bisa nerima kalau kondisiny emang kaya gitu. Gabisa dibandingin sama jaman kuliah dulu yang kebanyakan hura-hura. Meskipun sakit rahangnya kadang masih kerasa karna jarang ngomong wkwk. Maklum, namanya juga cewe, kalau gak cerewet yaa jadinya kesel sendiri.  Yaa intinya sampai kapanpun pasti akan ada hal yang baru dan aku harus bisa membuka diri dengan sesuatu yang baru itu.
    www.pinterest.com
  • Papandayan, Trip Pertama saat Masuk Kuliah #1

    Setelah cerita tentang keseruan piknik cantik ke Ciwidey yang sebelumnya pernah saya posting (bagi yang belum baca klik link ini ya), kali ini saya ingin flashback mengenang masa-masa kuliah dulu. Masa-masa pencarian jati diri dan segala macam keseruan didalamnya yang akhir-akhir ini bikin baper terus karena keingetan wkwk. 
    Papandayan, Trip Pertama saat Masuk Kuliah 
    Sesuai dengan judulnya, saya lagi-lagi ingin bercerita tentang hajat travelling saya yang kali ini agak ditarik mundur jauh 4 tahun silam saat saya masih endut-endutnya kata orang-orang, yang sampai sekarang masih aja jadi bahan ejekan. Hiks. Dulu berat badan saya memang tidak ideal dengan tinggi badan yang sebegini keadaanya. Pakaian yang saya gunakan ketika itupun belum mampu menutupi kelebihan berat badan saya, dalam arti saya belum bisa mensiasati cara berpakaian yang dapat membuat badan terlihat lebih ramping. Apalagi gaya hidup saya pada waktu itu yang sangat sering meminum minuman bergula setiap hari dan makan-makanan yang berlemak, semakin memperparah keadaan berat badan saya. Tapi pada akhirnya saya mencoba untuk sedikit-sedikit diet minuman manis sekalian menghemat pengeluaran untuk biaya ngeprint dan kebutuhan perkuliahan yang mahal-mahal lainnya. Alhamdulillah berat badan saya pun bisa turun 7 kilo. Namun kini naik lagi 5 kilo :(
    Sebuah pengalaman berharga bisa bertemu teman-teman yang satu hobi. Saat itu, saya masih suka dengan acara-acara pendakian (efek ikut pramuka). Ya meskipun bukan pendakian ke gunung-gunung ekstrem dan menantang, tapi untuk diri saya sendiri adalah sebuah kesenangan dan penghargaan tersendiri bisa lebih liar sedikit daripada ladies yang suka hangout di mall atau cafe. Karena keduanya bisa mengeluarkan budget yang sama tapi pengalaman yang didapat tentu berbeda. Kala itu saya masih duduk di semester awal dan ternyata banyak juga teman-teman yang hobi mendaki, tapi tentunya mereka lebih expert dibanding saya. Terutaman dari sisi perlengkapan, fisik, dan skill tentunya.  Akhirnya diajaklah saya untuk liburan ke Gunung Papandayan di Garut. Kali itu saya hanya wanita seorang diri dari kelas TA, dan 2 orang dari kelas PTA, sisanya semua para lelakyy perkasa sebanyak 4 orang. Sayapun berangkat dengan perlengkapan seadanya. Bukan perlengkapan ala-ala para pendaki yang super savety, hanya berbekal ransel biasa, sepatu converse kesayangan, jashujan, dan jaket yang tidak terlalu tebal. Padahal waktu itu sedang musim hujan dan di daerah pegunungan pasti sangat dingin. Sisanya perlengkapan tambahan seperti baju, alat sholat, alat makan, dan alat mandi. 
    Berangkatlah kami dari Kampus UPI Bumi Siliwangi menuju Kota Dodol alias Garut. Waktu itu saya dan teman2 menggunakan angkot untuk bisa sampai ke Terminal Cicaheum dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Garut dengan Bis. Sesampainya di kota kelahiran domba-domba super ini, saya melanjutkan trip ke Gunung Papandayan dengan menggunakan mobil pick-up milik kenalan teman saya yang merupakan penduduk asgard (aseli garud). Alhasil karena waktu itu hanya saya yang sepertinya paling manja dan menye2 diantara teman2 yang lain, saya pun disarankan untuk duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, alias duduk di kursi paling depan. Yaa, enaknya saya jadi aman dari hujan dan malu diliatin orang, tapi resikonya saya gak bisa ngobrol dengan yang lain daan perlu memutar otak untuk mencari topik pembicaraan dengan pak supir, dan yang paling sulitnya adalah bagaimana berbincang2 santai dengan menggunakan bahasa sunda yang sopan. Mulai dari pembicaraan:
    "Pa, upami bapa teh sahana indra? emangna panginten nya?"
    "Sanes, abimah _______-na", jawabnya. Saya lupa bapak itu siapanya temen saya. Pak lurah atau pa RT gitu ya :( 
    Hingga pembicaraan tentang batu ali yang beliau pakai dan hobi berkeliling dengan mobil yang beliau senangi. Wah, padahal saya hanya memancing pembicaraan 2 kalimat singkat. Namun dari 2 kalimat tersebut bisa sampai kepada pembicaraan panjang yang membuat saya tak sadar ternyata saya sudah sampai di tempat pemberhentian pertama untuk menuju Gunung Papandayan.  Namanya adalah Simpang Cisurupan. Di sekitar situ juga terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Kami berisitrahat, shalat, dan menyantap beberapa cemilan yang kami bawa. Disana, kami juga bertemu dengan pendaki lainnya yang super duper kece. Cowonya ganteng-ganteng, cewenya kece-kece. Wah jauh banget kalau dibandingin antara saya dan mereka. Penampilan memang mencirikan profesionalitas ya, hm. Okey, meskipun dengan keadaan saya yg seperti ini, saya tidak pernah larut semangat untuk bisa sampai ke puncak malam nanti.

    Mobil yang kami naiki untuk menuju ke Simpang Cisurupan


    Maaf ya saya nyolong gambar ini dari website orang karena saya tidak sempat mengambil foto di lokasi ini. Ini link sumbernya guys https://dailyvoyagers.com/blog/2017/10/11/rincian-perjalananan-menuju-gunung-papandayan/ 



    Bersambung...
  • Wajib Kunjungi 3 Tempat Wisata Ini Jika Ingin Berlibur Menikmati Keindahan Alam Kota Bandung


    Hai Bandungers!
    Semakin banyak orang yang datang ke Bandung, semakin banyak juga tempat wisata yang menjadi incaran turis lokal maupun mancanegara. Mulai dari wisata kuliner, wisata belanja, wisata histori, wisata alam, bahkan wisata selfie. Meskipun tempat wisata buatan kini semakin merajalela, namun wisata alam alami tetap menjadi nomor satu bagi para Bandungers. Bener gak? 
    Nah, wisata alam yang satu ini belum afdol rasanya kalau belum kalian kunjungi karena sudah pasti tempat-tempat ini bakal membuat otak kalian fresh dari hiruk pikuk Kota Bandung. Dan jangan lupa setelah membaca postingan blog ini, segera agendakan liburan kalian bersama keluarga, teman, gebetan, siapapun itu, karna dijamin tempat-tempat ini gak kalah seru dan tentunya hemat di kantong. 

    1. Kawah Putih, Ciwidey, Bandung 

    Suasana Kawah Putih saat musim penghujan. Kabut menyelimuti area kawah sehingga jarak pandang pengunjung sangat terbatas. Disarankan untuk berkunjung saat hari sedang cerah (Sumber: Dokumentasi Fakhitah Shabirah, 2019).

    Nah, yang pertama yang wajib kalian kunjungi yaitu Kawah Putih yang terletak di selatan Kota Bandung tepatnya di Ciwidey. Kawah Putih ini merupakan danau yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha. Gunung ini merupakan gunung yang konon dianggap memiliki banyak cerita dan sejarah serta hal-hal mistis loh guys. Kalian bisa baca ceritanya di sini. Tapi dibalik semua carita-cerita mistis itu, Kawah Putih mempunyai keindahan tersendiri yakni hamparan air danau putih kehijauan dikelilingi gunung-gunung serta tebing belerang. Tak jarang orang sering memanggilnya seperti pantai pasir putih di atas gunung. Keindahan Kawah Putih memang tak ada duanya. Di sekeliling danau juga terdapat hutan mati yang photogenic. Tak sedikit pengunjung yang menjadikan area ini sebagai tempat prewedding atau hanya sekedar berfotoria. 



    Sudut lain Kawah Putih yang sedng berkabut. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakhitah Shabirah, 2019)
    Untuk dapat kesana, kalian bisa membawa kendaraan pribadi atau kendaraan lain yang bisa dipakai untuk perjalanan jauh, menanjak, dan agak sedikit berbatu. Karena posisinya memang berada di gunung ya guys. Biaya yang diperlukanpun gak merogok kocek terlalu dalam. 
    Jadwal kunjungan ke Kawah Putih ini dari jam 07.00 pagi - 17.00. Itupun berdasarkan kondisi cuaca (menurut situs resmi Kawah Putih). Jadi lebih baik datang kesana di waktu-waktu yang pas, jangan terlalu pagi dan jangan kesorean. Untuk persediaan juga, jangan lupa membawa masker pribadi dari rumah supaya menghemat pengeluaran. Meskipun disana tersedia banyak pedagang masker yang menjual masker dagangannya seharga Rp 5.000,00, namun alangkah baiknya jika lima ribunya kita sisihkan untuk modal kawin saja guys. Untuk yang berkunjung saat musim hujan, jangan lupa juga membawa payung dan jaket tebal, karena suhu disana akan turun drastis. Bagi yang merencanakan prewedding disana, dikenakan biaya Rp 500.000,00 dan bisa langsung menghubungi pengurus Kawah Putih di website atau contact person yang tersedia.  
    Berfoto ria bersama ciwi-ciwi Teknik Arsitektur UPI 2014 (Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakhitah Shabirah, 2019)


    2. Penangkaran Rusa, Ranca Upas, Ciwidey, Bandung




    Instalasi yang menjadi point of view di kawasan Ranca Upas. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakhitah Shabirah, 2019)

    Yang kedua yaitu Penangkaran Rusa Ranca Upas. Tak jauh dari lokasi Kawah Putih, kalian bisa langsung melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju tempat wisata ini. Disini kalian bisa melihat hamparan rerumputan yang luas yang tentunya didalamnya terdapat rusa-rusa jantan maupun betina yang cantik-cantik dan jangan khawatir, rusa-rusa ini sudah jinak karena sering bertemu dengan pengunjung. Untuk mampir ke lokasi ini, jangan lupa membawa potongan wortel untuk memberi makan rusanya. Atau bisa juga membeli makanan di lokasi pembelian tiket. Untuk kalian yang sudah terbiasa dengan hewan yang berbulu dan besar seperti rusa, tidak ada salahnya untuk terjun langsung dan bercengkrama dengan mereka. Tapi bagi yang takut, kalian bisa menikmatinya dari atas rumah panggung sambil berfoto ria. Oiya jika kalian datang kesini saat musim hujan, usahakan jangan memakai sepatu "cantik" seperti heels atau sepatu mahal ya guys. Karena khawatir sepatu kalian malah ambles ke lumpur becek atau menginjak ranjau-ranjau si rusa. 
    Penampakan girlband bersama 2 rusa yang memandang aneh dan nyinyir dalam hatinya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakhitah Shabirah, 2019)



    Area padang rumput di penangkaran rusa Ranca Upas, Ciwidey, Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakhitah Shabirah, 2019)

    3. Situ Patenggang, Bandung

    Suasana Situ Patenggang yang sejuk (Sumber: Dokumentasi Pribadi Esti Destikarani, 2019)

    Yang terakhir yang wajib kalian kunjungi setelah Kawah Putih dan Penangkaran Rusa Ranca Upas yaitu Situ Patenggang. Ya! Surga di kawasan dataran tinggi yaitu 1600 meter diatas permukaan laut. Menurut beberapa sumber yang saya baca, Situ patenggang ini memiliki luas sekitar 45.000 hektar loh guys, serta luas total cagar alamnya mencapai 123.077,15 hektar.  Luas banget ya. Di kawasan ini juga tersedia resort yang bertemakan glamping, alias glamourous camping. Jadi konsep si resort ini menyajikan konsep kemping di "tenda" tapi fasilitas yang tersedia merupakan fasilitas hotel. Viewnya pun langsung ke Situ Patenggang dan perbukitan disekitarnya. Buat pasangan yang baru menikah atau untuk liburan seru dengan keluarga cocok banget pastinya. Disini juga kalian bisa menyewa perahu dayung, ataupun perahu boseh yang bisa kalian gunakan untuk menyebrangi danau. Dan jangan lupa untuk membawa kamera atau handphone yang dapat mengabadikan momen keindahan alamnya ya, Guys! Oya satu lagi, di kawasan situ patenggang ini juga ada resto yang sedang ngehits yaitu resto berbentuk perahu atau yang dikenal dengan Pinisi Resto. Konsepnya unik karena berbentuk perahu tapi berada diatas perbukitan. Hmm..Menarik. Mungkin bisa kalian coba telusuri di beberapa sumber di situs lain yang lebih meyakinkan ya. 
    Pemandangan Pinisi Resto dari kejauhan (Sumber: Dokumentasi Pribadi Esti Destikarani, 2019)


    Saung di pinggir Situ Patenggang (Sumber: Dokumentasi Pribadi Esti Destikarani, 2019)


    Dibalik senyum yang tersungging di bibir ini, terdapat napas yang tertahan dan ketakutan akan perahu terguling. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Esti Destikarani, 2019)
    Oke huys, daripada lama berbasa-basi, mending kita langsung bahas soal harga ya. Berikut rincian biaya untuk masuk ketiga tempat wisata tersebut. Rincian harga disini merupakan rincian harga asli pada Januari 2019 dimana saat kami memang benar-benar mencoba untuk datang kesana. Harga sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya untuk bayangan perkiraan budget yang harus disediakan jika ada teman-teman yang berminat untuk datang kesana yaaac.




    Tiket masuk wahana Kawah Putih   : Rp 20.000,00/orang
    Tiket masuk kendaraan roda 4        : Rp 150.000,00/unit (sampai parkir atas)
     
    Tiket masuk wahana Ranca Upas     : Rp 15.000,00/orang
    Tiket parkir kendaraan roda 4         : Rp 10.000,00/unit
     
    Tiket masuk wahana Situ Patenggang : Rp 20.000,00/orang
    Tiket parkir kendaraan roda 4            : Rp 5.000,00/unit
    Biaya sewa perahu                             : Rp 15.000,00/orang (bisa nego)
    Nah, sekarang udah kebayang kan. Jangan sampai kelewatan untuk berwisata alam kesini karna dijamin gakan rugi. 
    Selamat berwisata, semoga liburan kalian menyenangkan :)

  • Diberdayakan oleh Blogger.

    GET A FREE QUOTE NOW

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat.

    ADDRESS

    Bandung City, Indonesia

    EMAIL

    edestikarani@gmail.com

    MOBILE

    +62 859 5006 9490

    LINE

    estides