Esti Destikarani

I am an Architect

Esti Destikarani

Only a place for express all thoughts into a set of indefinite letters. Hoping to be useful, but being self complacent is very meaningful for me. Thank you, to spend a few minutes just to open this site. Hopefully there's no regret and keep the "kepo" grows to read more articles or sharing stories that I've posted. Its an honor for me if you leave a trail by commenting below the posts. Happy reading and enjoy, Esti.

  • Bandung City
  • +62853-1455-5953
  • edestikarani@gmail.com
  • www.wap-jett.blogspot.co.id
Me

My Professional Skills

I am very good at making dreams but still not ready to wake up and achieve everything I have dreamed of. My time is always used to think about everything. Deeply imagining something satisfying. Because I think everything starts as a dream, but unfortunately its requires ACTION to become true.

AutoCad 80%
SketchUp 90%
Vray for Sketchup 80%
Adobe Illustrator 85%
Adobe Photoshop 85%
Corel Draw 90%
Microsoft Office 90%

Tentang Arsitektur

Kesoktahuan diri ini yang hanya ingin bercakap-cakap tentang arsitektur walaupun ilmunya belum ada apa-apanya. Sharing aja gimanah?

Tentang Travelling

Ah, ini sih cuman konten jalan-jalan biasa. Doain ya, semoga bisa "travelling beneran". Pasti di post deh :)

Curhat Session

Blog ini isinya 1% ilmu, 99% curhat. Jadi buat apa kalian datang haha. Gak deng bercanda. Terimakasih telah berkunjung, luv luv :*

Tentang Portofolio

Berusaha menjadi wanita yang produktif. Cobalah lihat keproduktifan diri ini. Semoga menghibur :')

Hanya Cerita Lampau

Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarahnya. Begitupun kita sebagai manusia. Apadah wkwk

Artikel Bermanfaat

Nah yang ini semoga beneran bermanfaat ya.

0
Proyek Desain
0
design award
0
facebook like
0
current projects
Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan
  • Pendakian Gunung Gede dari Bandung Via Gunung Putri #1


    Pendakian yang cukup rempong ini berawal dari niatan aku dan seorang rekan kerjaku yang pengen ngerayain tahun baru dengan nuansa yang berbeda. Karena kami berdua dari dulu memang penikmat alam, cieh, kami memutuskan untuk tahun baruan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sekaligus merayakan hari ulang tahunku yang ke 17 ceritanya (17++). Niatan itu sudah tercetus kurang lebih sebulan sebelum pendakian. Akhirnya kamipun mengajak rekan-rekan yang lain hingga terkumpul sudah 14 orang yang akan ikut berangkat menuju Gunung Gede. Salah satunya adalah bosku di kantor. Waw, ini sungguh akan menjadi pengalaman luar biasa pikirku.
    Ternyata, dapat info dari temanku bahwa sebelum memulai pendakian ke TNGGP ini kita perlu registrasi online terlebih dahulu dengan mengisi beberapa data diri, surat pernyataan, dan administrasi lainnya yang bakal aku jelasin di bawah ini.
    Cara Daftar TNGGP
    Oiya buat temen-temen yang ingin coba untuk kesana wajib mendaftar via online ke website resmi TNGGP ya. Atau kalian bisa klik linknya disini <> Setelah itu kalian bisa membaca syarat dan ketentuan untuk berkunjung kesana baru setelah itu mengisi form pendaftaran dengan melampirkan beberapa identitas diri dan upload foto KTP. Setelah pendaftaran selesai dilanjut dengan proses pembayaran simaksi sejumlah Rp 35.000,00 yang ditransfer ke rekening admin TNGGP. Setelah semua prosesnya selesai. Kalian tinggal tunggu validasi dari pihak TNGGP yang masuk ke email kalian. Setelah itu kalian perlu mendownload surat pernyataan pendaki yang diisi oleh ketua rombongan kemudian ditandatangan dan diberi materai. Kalian juga perlu mendownload form sampah dan mengisi sesuai benda-benda apa saja yang akan menghasilkan sampah. Misalnya saat itu kalian membawa mie instant dan chiki-chiki, tinggal kalian tulis saja pada formnya mie instant sekian buah dan chiki sekian buah. Tapi sepertinya di musim covid ini pendakian ke TNGGP ditutup sementara.
    Setelah sukses mendaftar akhirnya selama sebulan kami mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, terutama latihan fisik karena mendaki sangat membutuhkan stamina tubuh yang sehat dan kuat. Selama satu bulan penuh saya rutin berolahraga minimal lari keliling GBLA atau sepedahan keliling komplek atau pait-paitnya kalau lagi mager saya hanya strecting selama 10 menit di kamar. Yaa semua itu dilakukan supaya tubuh tidak shock saat mendaki. Akupun menyiapkan beberapa peralatan seperti matras, tenda, carrier, sepatu, jas hujan, dan kebutuhan lainnya. 
    Alat tempurku
    Hingga tak terasa hari keberangkatanpun akan segera tiba. Persiapan alat pribadi maupun kelompok sudah dipersiapkan dengan matang. Kali ini aku benar-benar berusaha tidak ada satu barangpun yang tertinggal. 
    27 Des 2019
    Keesokan harinya, tepatnya Jumat, 27 Desember 2019. Aku berangkat kerja seperti biasa. Rencana awal yang tadinya setelah berangkat kerja langsung menuju Terminal Leuwi Panjang pun dibatalkan. Alhasil sekitar pukul 14.00 aku pulang dulu ke rumah untuk mengambil perlengkapan, untungnya rumahku tidak jauh lokasinya dari tempat aku bekerja. Kurang lebih pukul 17.00 temanku datang untuk menjemputku dan kami akhirnya naik motor menuju ke terminal Leuwi Panjang. Rintik-rintik hujan dan macetnya Kota Bandung kala itu tidak melunturkan semangat kami untuk pergi.
    Setelah sampai di terminal, kami bertemu dengan beberapa teman yang sudah tiba terlebih dahulu disana. Ada Kang Sogin, Sandi, Doni, dan Pak Adi. Bersamaan dengan kedatanganku, Pak Ary yang adalah atasanku dikantor juga sampai. Pak Ary ini usianya sudah tidak terbilang muda lagi namun semangatnya masih gigih. Katanya "Saya gaakan pernah naik gunung lagi kalau gak diajak kalian. Mana ada yang seumuran saya naik gunung". Ya, usianya waktu itu 59 tahun. Cukup khawatir awalnya, namun ternyata beliau memiliki semangat juang yang tinggi melebihi kami-kami kaum muda. Setelah itu, Bu Ana dan Kang Elmy pun tiba. Berarti tinggal menunggu 1 orang lagi, Hena. Hari itu tepat sekali dia melangsungkan sidang skripsinya. Katanya dia akan ikut tapi agak telat karena menunggu yudisium. Oiya, Hena, Pak Adi, dan Kang Sogin ini satu almamater denganku di Universitas Pendidikan Indonesia. Tapi kami beda angkatan. Sedangkan Sandi dan Doni adalah teman dari Pak Ridwan. Aku juga beru mengenal mereka berdua hari itu. Oiya Bu Ana dan Kang Elmy ini ternyata cemewewan ihi. Aku juga baru mengenal Kang Elmy saat itu. 

    Adzan maghrib berkumandang, kami memutuskan untuk mencari mushola dan sembahyang sambil menunggu kedatangan Hena. Sambil menunggu, setelah sholat magrib kami berkumpul di depan mushola yang juga terdapat warung kecil-kecilan. Beberapa temanku sempat memesan kopi hangat untuk menambah stamina. Akhirnya Henapun datang bersamaan dengan wajah sumringahnya karna sudah menyandang gelar S.Pd. Saat itu juga aku langsung mengucapkan selamat kepadanya. Ah aku jadi rindu masa-masa yudisium saat itu.

    Menuju bus untuk berangkat ke Cianjur
    Gak pake lama setelah kedatangan Hena, Pak Adi, segera mencari bus menuju Cianjur saat itu. Beruntungnya kami karna bus yang kami tumpangi adalah bus terakhir yang menuju sana. Setelah memakan perjalanan selama kurang lebih 3 jam kami tiba di Terminal Rawa Bango. Saat itu sekitar pukul 11 malam kami turun dari bus dengan wajah kusut karna baru bangun dari tidur. Sialnya saat itu aku mual dan hampir muntah karna perjalanan yang berkelok terlebih sudah lama sekali rasanya tidak memakai kendaraan umum.
    Pak Adi pun melancarkan aksinya kembali. Ia mencari kernet angkot yang bisa membawa kami menuju ke Gunung Putri tentunya dengan tarif seminimal mungkin. Skill sepik yang patut diacungi jempol. Aku dan yang lain hanya tinggal menunggu Pak Adi bilang "Yo yo, masuk yoo" sambil menggerakkan tanggannya seolah mengarahkan kami masuk ke dalam angkot. Kami berdempet-dempetan di dalam angkot dengan sebagian besar space angkot dipenuhi oleh barang bawaan kami yang sungguh tidak kecil dan tidak ringan tentunya. Yang paling menderita tentu yang duduk paling pojok belakang. Karena sudah kakinya tertindih carier, badannya tergencet oleh badan kami pula. Yaa, apaboleh buat. Untungnya bukan aku yang berada di posisi itu.
    Aku kira perjalanan menuju Gunung Putri itu sebentar, ternyata lumayan lama juga dan kami diberhentikan di Ramayana karena harus ganti angkot. Supir kami yang sebelumnya ternyata tidak bisa mengantar kami sampai ke lokasi. Tapi tak lama angkot pengganti kami sudah datang, dengan kapasitas yang sedikit agak lebar sehingga membuat kami cukup leluasa saat itu. 

    Oiya, saat itu aku mengajak teman kuliahku juga untuk ikut pendakian. Namanya Desi. Dia datang dari Cilegon dari tempat kerjanya dan kami janjian langsung di pertigaan dekat Istana Cipanas. Saat itu setelah aku tanya keberadaannya ternyata dia sudah sampai di lokasi dan akan menunggu di warung pecel lele simpang. Desi ini orang yang aku kenal sangat mandiri. Mungkin dari sekian banyak teman wanita yang aku kenal, dia sangat pemberani. Buktinya ia tak takut berpergian ke luar kota sendiri. Dia juga seorang yang mudah beradaptasi. Jadi aku tak perlu repot-repot untuk menemani dia, karena dia sangat mudah bergaul.
    Setelah sampai di persimpangan dekat Istana Cipanas, aku yang awalnya hendak turun untuk menjemput Desi di warung makan pecel lele malah didahului oleh Pak Ridwan yang sebegitu cepatnya hingga ia bergegas langsung turun dari angkot menjemputnya sebelum aku yang turun dari angkot. Aneh pikirku. Aku yang temannya Desi kenapa Pak Ridwan yang begitu antusias menjemput. Padahal sebelumnya mereka tidak saling kenal. Bercakappun hanya via whatsapp untuk membahas soal persiapan pendakian. Ah, entahlah. Segera aku susul dia karena khawatir salah orang. Sebelum aku sampai di warung pecel lele, aku melihat Pak Ridwan tampaknya tidak salah orang dan mengucapkan sepatah dua patah kata kepada teman kuliahku itu. Mungkin salam perkenalan atau sekedar bertanya "Hai kamu Desi ya?". Ih aneh pikirku, harusnya kan aku duluan. So akrab banget sih si Pa Ridwan ini. Apa jangan-jangan mereka... Ah sudahlah aku tak ingin berpikir macam-macam saat itu. Aku segera menyapa temanku Desi dan mengajaknya bergegas masuk ke dalam angkot karena hari sudah larut malam.
    ...

  • Menjelajah Pelosok Bandung, Ranca Suni, Keindahan yang Terkikis Waktu

    Cita-cita Ibuku yang entah sejak berapa tahun lamanya ingin segera pergi mengunjungi tempat ini namun baru terwujud baru-baru ini.
           ___________________
    Ibuku adalah seorang wanita paruh baya yang lahir di tengah perkebunan teh. Ia terbiasa hidup ditengah hembusan angin gunung dengan semerbak wewangian daun teh. Hidup berdampingan dengan petani dan juragan-juragan pabrik yang kental dengan nuansa didikan belanda. Dulu Ibuku lahir di sebuah daerah bernama Gunung Mas di Bogor. Ayahnya yang juga adalah Kakekku adalah seorang yang ahli dalam berkebun dan paham betul bagaimana mengelola teh dari mulai proses pembibitan hingga proses ekspor teh. Kakekku hingga saat ini yang usianya hampir 85 tahun, tidak pernah lupa akan kenangannya memimpin sebuah pabrik teh. Bahkan kenangan itu terus diceritakan kepada cucu-cucunya termasuk aku berulang kali sampai aku bosan. Tapi salahnya aku, hanya mendengar tanpa melibatkan perasaan. Padahal ketika Kakekku bercerita yang ia ingin sampaikan adalah perasaan rindu ingin kembali ke masa itu. Masa ketika muda yang sehat, yang kuat, yang penuh dengan tantangan. Sama seperti aku merindukan teman-temanku yang ahh.. sudahlah, banyak sekali yang pergi. Pergi dengan pasangan-pasangannya, pergi dengan kesibukannya, dan memilih jalan masing-masing. 

    Menghabiskan waktu bertahun-tahun di Gunung Mas, suatu ketika Kakekku diharuskan untuk pindah tugas. Ia sempat dipindahkan ke Perkebunan Teh Panjang, lalu Cikopo, dan Perkebunan Gedeh, hingga yang terakhir ke Bandung tepatnya di Ciwidey. Sebuah pelosok desa yang indah, sejuk, sungai mengalir dengan jernihnya, burung-burung dan suara binatang-binatan lain masih terdengar jelas. Ditengah kesunyian kampung yang berwajahkan Sunda, lengkap dengan rumah berdinding bilik dengan teras depan berlantai kayu. Kampung itu bernama "Ranca Suni".

    Sewaktu Kakekku dipindahkan dari Bogor ke Ranca Suni, Ibuku terpaksa ikut meskipun masih berusia sangat kecil. Ini lah tempat Ibuku bermain dan menghabiskan waktu kecilnya sebelum Ia pindah lagi ke lain kota. Menurutnya tempat ini sangat berkesan. Karena diingatannya dulu begitu indah. Sebuah tempat yang nyaman yang takan lagi kita temukan di kota-kota jaman sekarang yang penuh dengan hiruk pikuk kesemrawutan. Di sini tempat tinggal Ibuku dan Kakekku sangat berdekatan dengan pabrik tempat Kakek bekerja. Bahkan Ibuku bisa melihat dari jendela ketika kakek sedang kerja di ruangannya. Saking indahnya saudara-saudaranya yang berada di kota sering berkunjung ke sini hanya untuk botram atau sekedar silaturahim. 

    Ranca Suni ini tempatnya sangat tersembunyi karena berada di lembah. Dikelilingi gunung-gunung dan perkebunan teh yang berada lebih tinggi daripada perkampungan. Wajar bila disini udara selalu dingin bahkan bisa mencapai 17 derajat. Sambil aku mendengarkan cerita Ibuku, aku membayangkan betapa serunya saat itu. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, aku baru bisa mewujudkan keinginan Ibuku untuk bisa pergi kesana. Melihat-lihat rumah masa kecilnya dan tempatnya bermain.

      ___________________
    Sebelum pergi kesana aku sempat berdebat dengan Ibu karena lokasi yang belum pasti. Lokasi yang ada diingatan Ibu ternyata berbeda dengan lokasi yang berada di google maps. Akupun bingung harus percaya yang mana. Ibuku sudah pergi meninggalkan tempat itu puluhan tahun lamanya wajar bila ia lupa dan kecanggihan teknologi terkini pun tidak bisa aku pungkiri ketepatannya. Akhirnya kami memutuskan pergi dengan percaya pada google maps. Kakakku yang menjadi supir agak kewalahan dengan jalan yang diarahkan peta online ini. Karna jalannya berliku, naik dan turun serta tak nampak sama sekali ada tanda-tanda keberadaan kebun teh. Sama sekali bukan yang ada dalam ingatan Ibu. Setelah sampai di titik tujuan yang google maps arahkan, ternyata bukan ini tempat itu. Sepertinya kami tersesat dan terpaksa berbalik arah. Kami pun melalui jalan naik dan turun itu lagi hingga sampai ke jalan utama. Kami akhirnya memutuskan untuk bertanya ke warga sekitar dan ternyata kami tersesat lagi untuk keduakalinya. Kami malah terlalu jauh mengambil jalan bahkan hampir ke Cianjur. Untungnya di tengah jalan kakakku berhenti dan kembali bertanya pada pedagang warung, ternyata kelewatan katanya. Kami pun kembali berbalik arah. 

    Akhirnya setelah melalui perjalanan yang panjang kami menemukan secercah harapan ketika kami melihat penunjuk arah bertuliskan "Ranca Suni". Dan dari situ ingatan ibuku kembali muncul hingga sampailah kami ke sebuah desa yang sangat historistik. Aku sebagai pecinta bangunan-bangunan bersejarah ketika dibawa ke tempat seperti ini imajinasiku akan kehidupan di masa lalu tiba-tiba muncul. Aku terkagum dan merasa seperti ada di tempat yang asing yang begitu asri. Namun ketika aku melihat raut wajah Ibuku, justru Ia terlihat berbeda. Ternyata Ranca Suni yang sekarang tidak seperti yang diharapkannya. Iya, tidak seperti dulu, tidak seindah kala itu. 
      ___________________

    Pabrik pengolahan teh milik PTPN yang kondisinya sangat memprihatinkan. Sama sekali tidak direnovasi dari dulu hingga kini. Mesin-mesin tampak berkarat namun dipaksakan tetap berjalan. Sebagian kacanya pecah bahkan lepas dari kusennya dan didiamkan begitu saja. Dinding yang sepertinya tidak pernah lagi di cat ulang hingga warnanya begitu kusam. Akupun tak melihat begitu banyak pekerja disana. Yang aku lihat hanya sebuah mesin besar sedang berputar menggiling dedaunan teh. Disebrang pabrik itu dulunya adalah bengkel kini terkesan kosong bak rumah hantu hingga gentengnya pun diselimuti lumut. Bentukannyapun tak lagi kokoh. Akupun penasaran dengan rumah yang dulu ditinggali oleh Ibu dan Kakekku. "Ti, dulu rumah Ibu ada disana (sambil menujuk). Tapi sekarang ko gaada ya. Ibu inget banget dari rumah ke pabrik itu keliatan dan gak jauh." Ternyata rumah itu hanya tinggal bongkahan-bongkahan batu bata yang hampir rata dengan tanah karena sudah dihancurkan. Kami tertegun beberapa menit tepat di depan rumah yang dulu Ibu tinggali. Aku rasa Ibu ingin menangis, terlihat kesedihan di raut wajahnya. Rumah-rumah lain milik petani teh kini tampak lebih mirip gubuk tua yang reot tak seperti dulu yang kental dengan budaya lokal bernuasa Sunda. Sejenak Ibuku berbincang dengan warga yang sedang bercocok tanam dihalaman depan rumahnya. Warga disana sangat ramah meskipun kami pengunjung dari luar. Tak terhitung jumlah rumah yang ada disini namun kondisinya hampir sama. Nampak pula sebuah bangunan besar seperti bangunan serbaguna yang dipakai untuk GOR dan TK begitu tak terawat. Sungai yang dulu indah kini tak terawat hingga ditumbuhi rumput-rumput liar di pinggirannya, namun airnya masih tetap jernih mengalir diantara bebatuan besar. Dari kejauhan masjid terlihat bersih namun fasilitas sangat jauh dari kata nyaman. Kami memang tidak masuk ke area sholatnya, namun kami melihat2 kamar mandinya yang ternyata kotor dan bahkan pintu-pintunya pun rusak. Ah ini bukan seperti dulu ketika Ibuku tinggal disini. Sangat jauh berbeda.

      ___________________
    Tapi dibalik kekecewaan Ibu, aku bersyukur bisa membawa Ibu kemari sampai rasa penasarannya sudah hilang. Sejujurnya akupun agak miris karena sekelas perusahaan BUMN kondisinya tidak sebaik yang aku kira. Padahal produksi teh di Indonesia sangat maju dan bisa sampai ekspor ke negara lain. Ranca Suni-pun sangat potensial jika dijadikan tempat wisata seperti perkebunan teh yang lain. 

    Kami berkeliling desa itu sambil berfoto-foto ria dan akhirnya kami pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. 

    Ranca Suni, semoga ada orang baik yang bisa memajukan desa ini jadi seperti dulu lagi.
    Satu lagi keinginan Ibu, untuk bisa melihat Gunung Mas di Bogor. Insya Allah ya Bu, pasti kita kesana. Kalau sekarang keadaannya masih seperti ini dan tidak memungkinkan buat berpergian. Mudah-mudahan Gunung Mas tidak seperti Ranca Suni ya Bu :)


    Bangunan GOR, TK dan GSG Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Rumah dinas pejabat pabrik teh perkebunan Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Nampak dari kejauhan rumah-rumah penduduk berjajar rapi. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Kami yang sedang asyik menyusuri jalanan Ranca Suni. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Jembatan yang melintang di atas sungai. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Salah satu kondisi rumah warga. Nampak sekali banyak kerusakannya :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Pintu masuk GOR Rancasuni. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Dari kejauhan Masjid tampak kokoh meskipun kubahnya tak lagi bersinar seperti dulu. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bayangkan jika ini rumah kalian :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Ini adalah kondisi sungai yang tertutup rumput liar. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bangunan yang dijadikan tempat penyimpanan benda-benda tak terpakai sampai seperti ini kondisinya. Menyedihkan :( (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Indahnya Ranca Suni dari atas. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    TK Tunas Karya II Ranca Suni (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Apa yang ada di benak kalian wahai arsitek? (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Masuknya lewat mana ya? (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Rusak dimana-mana. Horor banget kayanya ini. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)

    Bekas bengkel yang lebih mirip rumah hantu. (Dokumentasi Pribadi, Maret 2020)










  • A Journey to Mount Putri Lembang part #1

    Setelah beberapa waktu lalu mencoba nekad mendaki Gunung Guntur dengan sejuta keesktremannya yang menurutku (sebagai anak bocil pemula) bener-bener melelahkan, menantang, namun menyenangkan, akhirnya akupun memutuskan untuk ketagihan. Kali ini, selang waktu 2 bulan dari pendakian ke Gunung Guntur kemarin, aku memutuskan untuk mendaki lagi. Tapi kali ini tujuannya tidak terlalu jauh, masih di sekitaran Bandung Utara, tepatnya di Lembang. Kata orang-orang sih gunung ini meskipun berada di ketinggian yang tidak terlalu tinggi, tidak kalah keindahannya dengan gunung-gunung lainnya. View kota Lembang dan samudra awan yang sering kali kulihat pada postingan para pendaki lain di instagram ke Gunung Putri ini yang membuat aku penasaran. Sebenarnya seperti apa sih gunung ini. Akhirnya tepat di tanggal 6 September kemarin aku dan keempat rekanpun melangsungkan pendakian. 

    Setiap akan mendaki, entah kenapa selalu ada drama yang datang tiba-tiba. Kali ini drama itu datang langsung dari bosku di kantor. Hari itu hari Jumat dimana pekerjaan di kantor memang sedang hectic-hecticnya. Tiba-tiba bos menelpon dan menugaskanku untuk membantu pekerjaan di proyek lain. Mungkin itu tidak seberapa, namun Ia kemudian menyarankanku untuk kerja lembur di keesokan harinya. Padahal hari itu juga aku ingin melepaskan penatku di ketinggian bumi. Aku pun membuat alasan sudah ada janji, karna memang begitu kenyataannya. Mungkin aku akan dicap sebagai karyawan yang tidak sigap. Namun sekali lagi, janji kepada gunung harus ditepati meskipun perintah bos haha. Lebaynya aku. Maaf Bapaak..

    Akhirnya pukul setengah 7 malam, ba'da maghrib aku pun berangkat dengan salah satu rekan kerjaku hingga menuju salahsatu minimarket yang berada di sekitaran jalan Buah Batu (re: nebeng). Rupanya temanku sudah menunggu cukup lama di minimarket tersebut. Lagi-lagi akibat drama tadi siang di kantor yang menyebabkan aku harus pulang lebih lama karena tugas tambahan. Maaf ya teman. Setelah itu aku dan temanku berangkat menuju tempat penyewaan peralatan gunung karena saat itu perlengkapan kami kurang. Seperti tenda, flysheet, matras, sleeping bag dan lampu senter.  Sayangnya sleepingbag dan alat penerangan yang hendak kami sewa sedang kosong. Alhasil kami hanya meminjam tenda, flysheet, dan matras meskipun kami baru sadar ketika di Lembang ternyata matras yang kami sewa dan sudah kami bayar tidak terbawa. Baiklahh, mungkin efek lelah karna seharian bekerja :(

    Coming soon part #2
  • Ingin Kembali, Namun dengan Cerita Berbeda (A Journey to Mt. Guntur) part #2

    Mendaki seperti menganalogikan usaha kita dalam meraih mimpi. Penuh tantangan, halangan, rintangan. Selagi kaki masih bisa melangkah, berjalanlah walau perlahan. Ketika kita lelah, beristirahat sejenak sambil melihat ke bawah. Hingga kita sadar, kembali turun bukan tujuan, tapi melangkah menuju puncak dan menikmati seluruh jerih payah yang telah kita berikan itulah tujuan sesungguhnya.


    Akhirnya setelah melewati begitu banyak drama menuju puncak, tibalah kami di puncak Gunung Guntur. Meskipun kami menikmati keindahan sunrise ditengah-tengah perjalanan, tapi kami tetap merasa bangga pada diri sendiri haha. Kami bersandar pada kemiringan tanah hanya sekedar melihat cantiknya sang mentari, ditemani warna langit yang perlahan membiru. Relief kota semakin terlihat, ah sayang kami tidak membawa kamera yang mumpuni. Tapi menikmati keindahan alam dengan mata sendiri rasanya sangat bahagia. Seketika ingat Tuhan, seketika ingat begitu hebatnya Dia. MasyaAllah..


    Tak henti-hentinya kami mengabadikan moment dengan kamera smartphone. Meskipun hasilnya tak seberapa, tapi momen ini wajib kami perlihatkan pada keluarga di rumah. Ingin rasanya mengajak orang-orang tersayang kesini. Haaaa, gunung, kamu indah banget, aku jadi jatuh cinta rasanya. Boleh gak aku kembali? Boleh ya ya ya..


    Seketika keringat yang mengalir begitu saja hilang ketika sampai di puncak. Kamipun beristirahat sejenak sambil membuat minuman hangat dan mengisi perut yang kosong. Sambil menikmati angin yang berhembus, kami melihat sekeliling. Semua pendaki nampak all out dengan segala peralatan yang mereka bawa. Nampaknya mereka sudah sering mendaki hingga mereka tahu apa saja yang mereka perlukan ketika sampai di puncak. Peralatan dokumentasi termasuk drone, outfit stylish, selendang ala ala, hingga boneka. Hebat memang. Next time sepertinya harus seniat itu sih. 


    Cerita 2 pendaki SKSD
    Maaf ya, aku terpaksa nyeritain kalian disini, karena kalian termasuk 2 orang yang masuk dalam memori aku haha. 
    Jadi ceritanya ditarik mundur saat pertama kali sampai di basecamp/rumah warga untuk parkir motor. 2 orang pendaki ini sudah dulu ada, entah siapa dan dari mana mereka akupun jujur tidak terlalu peduli haha. Sebagai warganegara Indonesia dan suku sunda yang menjungjung tinggi keramahtamahan, saya pun melemparkan senyum kepada mereka ini. Mereka pun membalasnya. Tak banyak interaksi saat kami ada basecamp sana. Yang aku ingat hanya ketika mereka menanyakan lokasi shalat. Kemudian aku tunjukkan saja pintu masuk menuju area sholat. Sebatas itu. 
    Barulah ketika kami berlima memutuskan untuk memulai pendakian, kami meninggalkan mereka berdua tanpa pamit. Tapi salah satu diantara mereka berdua ada yang berseru, "Sampai ketemu di puncak ya Teh!". Akupun tersenyum sambil membalas, "siap!". 
    Dan dimulai dari situ lah keakraban (re:keSKSDan) kami muncul. Setiap bertemu di pos pemberhentian, kami sempatkan untuk berbincang. Yaa memang ya anak gunung tuh sksd banget wkwk. Aku gak banyak ngobrol sih, cuman nguping aja. Sadar, karna obrolan mereka hanya tentang gunung dan aku gatau apa2 tentang itu. Hingga kami bertemu kembali di pos 3, lokasi tenda kamipun ternyata tidak berjauhan. Setelah mendirikan tenda hingga menuju puncak gunung Guntur, kami sama sekali tidak bertemu lagi, dan bahkah tidak saling mencari juga ngapain ya wkwk. 
    Ehh tapi tiba-tiba waktu saya dan geng sedang nikmat-nikmatnya menyeruput kopi dan cemilan yang kami bawa, 2 orang itu muncul lagi tepat dari belakang saya. Sontak akupun terkejut kenapa bisa ketemu lagi dari sekian banyaknya pendaki yang berkeliaran disana tuh. Akhirnya mereka pun bergabung dengan geng kami dan kami ngobrol bareng, ngopi bareng, dan ngemil bareng. Baiknya mereka ngasih banyak banget makanan yampun aku jadi terenyuh rasanya. Daan kamipun foto bersama sebelum turun gunung. Senangnyaa ternyata bisa ketemu lagi wkwk. Barulah setelah itu kami bertukar instagram berasa tidak ingin pertemuan ini adalah pertemuan terakhir.








    Pertemuan kali ini, bersama mereka yang beragam latar belakang, makin menambah buku memoriku. Itulah sebagian kecil cerita yang sisanya hanya bisa ku ungkapkan dalam pikiran, Rasanya ingin terulang, tapi di tempat yang berbeda. Semoga next bisa lagi ke gunung bareng yaaa.Aamiin...

  • Ingin Kembali, Namun dengan Cerita Berbeda (A Journey to Mt. Guntur)

    Rasanya ingin kembali, bersandar pada kemiringan, menikmati senja hingga fajar menyapa, tapi ke tempat yang berbeda..

    Begitulah kira-kira rasanya setelah berhasil muncak di salah satu gunung yang sering menjadi target para pendaki di Jawa Barat. Jujur, ini kali pertamanya lagi setelah saya tidak mendaki selama 4 tahun. Lagi-lagi awalnya penuh dengan drama terkait izin dari orang tua. Namun dengan 1000 jurus andalan, akhirnya mereka pun luluh.  Bukan hanya itu saja, tapi drama dalam batinpun sempat mengganggu. Apalah daya tubuh ini yang sama sekali tidak pernah dituntut untuk berolahraga. Khawatir badan tak sanggup untuk melaluinya. Tapi drama itu nyatanya kalah dengan niat dan keinginan. Cukup itu. Nawaitu..

    Kala itu gunung yang kami daki adalah Gunung Guntur dengan ketinggian 2.249 mdpl. Memang ketinggiannya bukan merupakan angka yang spesial, namun nyatanya gunung ini memberikan kesan luar biasa yang memantik semangat saya untuk mendaki lagi. 
    Berangkatlah kami dari Kota Bandung tercinta hari Sabtu , 13 Juli 2019 sekitar pukul 8.00 pagi. Rombongan kami yang hadir saat itu ada 5 orang. Saya, 2 orang temang kantor Pak Adi dan Pak Ridwan, dan 2 orang lagi teman satu kampus yang beda angkatan, Hena dan Kang Sogin. Kurang lebih ini seperti reuni kecil kampus. Meskipun saat itu saya sendiri belum mengenal 2 orang teman yang satu kampus itu haha. Senang sekali rasanya karena punya kenalan baru.
    Diperjalanan kami tidak menemukan hambatan yang berarti. Kemacetanpun tidak begitu parah dan masih bisa teratasi. Tanpa berhenti dulu di perjalanan, kami akhirnya sampai di persimpangan yang katanya ini merupakan akses masuk menuju Gunung Guntur. Sangat mudah menemukannya karena lokasinya berdekatan dengan pom bensin Tanjung. Sebelum masuk kesana, kami berhenti dahulu di sebuah toko yang sedang tutup untuk berisitirahat. Bukan, kami tidak seperti gembel kok, belum lusuh-lusuh amat haha. Disana kami membeli beberapa bahan masakan yang belum kami bawa dan membeli makanan jadi di warung terdekat sebagai makanan untuk makan siang. 

    Setelah berisitirahat kurang lebih satu jam, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp/rumah warga untuk menitipkan motor dan helm. Disini mulai dipungut biaya untuk menitipkan kendaraan, Kurang lebih yang saya ingat waktu itu 10.000 rupiah untuk satu motor. Waktu itu kami menggunakan 3 motor jadi biaya yang harus kami keluarkan adalah 30.000 rupiah. Setelah membayar biaya penginapan motor, kami diarahkan menuju rumah warga atau yang biasa disebut dengan basecamp. Disana ternyata sudah ada beberapa pendaki yang sudah dulu tiba. Kami pun beristirahat dan bersiap untuk solat zuhur karena azan sudah mulai berkumandang. Setelah semuanya selesai. Kami memulai pendakian.

    Di awal perjalanan hingga sampai ke pos 1 kami belum menemukan tantangan yang rumit. Jalanan pun masih aman dan damai. Walau memang seluruh jalan didominasi oleh bebatuan dan kerikil. Dari jauh kami sudah bisa melihat puncak Gunung Guntur yang berdiri gagah. Rasanya sudah tidak sabar menanti sunrise disana.
    Setibanya kami di pos 1, kami beristirahat sebentar membaringkan badan. Merasakan kelelahan yang luar biasa ini karena sama sekali tidak ada latihan fisik sebelumnya. Untungnya saya sempat pemanasan 15 menit sebelum berangkat. Hanya berbekal itu saja karna harapan saya sangat tinggi untuk bisa sampai ke puncak. Kesosoan hidup yang haqiqi memang :( Bagi pemula, gunung ini sangat menantang bagi saya. Cobalah datang kemari, tapi jangan ajak2 yaa :p
    Berjalan terus menuju pos-pos berikutnya, tibalah kami di pos 2. Kami beristirahat cukup lama memulihkan energi yang terbuang. Sambil membayangkan jarak ke pos 3 tidak sejauh pos 1 ke pos 2, kami bersenda gurau dengan rombongan lain yang ramah dan cenderung SKSD wkwk. Tapi kami senang bisa berkenalan dengan teman baru. Setelah puas mengisi energi, kami melanjutkan perjalanan ke pos 3 yang katanya pos terakhir dan pos ini digunakan untuk area berkemah para pendaki. Di perjalanan, kami menemukan sumber mata air yang luar biasa jernihnya. Rasanya pun ternyata lebih enak dari acua. Parah sih ini, memang air dari gunung langsung itu enak banget. Mesti coba, meski tanpa dimasak dulu udah enak :(

    Akhirnya sampailah kami di pos 3. Kami sedikit agak terkejut karena ternyata banyak sekali pendaki yang datang kesini. Ini sih kurang lebih sudah seperti komplek perumahan pendaki. Tenda-tenda sudah terpasang dimana-mana. Fasilitas umum seperti toilet, musholla, merchandise, dan tempat penyewaan alat berkemah pun sudah lengkap adanya. Ini sih gak perlu repot bawa carier besar, cukup bawa diri saja kalian sudah bisa survive. Sayangnya kami tidak tau hal itu. 



    Kami berlima bermalam ditenda kecil ini. Entah muat atau tidak, yang jelas pasti ada yg harus tidur diluar haha. Dan ternyata yg diluar aku gays, karna aku tak bisa tidur :( Aku pun ngeronda sambil menikmati hangatnya secangkir kopi ditemani dinginnya malam. Bercerita banyak tentang perjalanan hidup dengan hembusan angin malam. Cielah..

    Malam gunung, malam yang singkat. Tak terasa sudah jam 3 subuh, waktunya summit attack. Para pendaki lain sudah mulai berkemas untuk mendaki menuju puncak. Kami masih terlena dengan hangatnya tenda dan kopi. Rasanya kehilangan semangat untuk mengejar sunrise. Tapi tujuan kami hanya itu. Akhirnya kamipun berkemas. Menyiapkan beberapa perbekalan yang memang dibutuhkan di puncak seperti makanan dan minuman. Sisanya, kami titipkan di pos supaya tidak terlalu berat.

    Berjalan menyusuri bebatuan, krikil, dan ilalang ditemani pencahayaan seadanya dari lampu senter tak membuat kami patah semangat. Tapi itu hanya berlangsung beberapa saat ketika salah satu diantara kami merasa tidak yakin bahwa jalan yang kita lalui adalah jalan yang benar.  Karena tidak nampak jejak dari pendaki lain. Tapi kami tetap berjalan berharap akan ada keajaiban.
     ...

    (Coming soon, part 2)



     
  • Papandayan, Trip Pertama saat Masuk Kuliah #2

    Bagi yang belum baca part 1, bisa klik link di bawah ini ya.

    Sebenernya heran juga kenapa bisa ikut sih, baru kepikiran sekarang. Padahal saya sejujurnya gak terlalu deket sama mereka waktu itu, tapi saya mau2 aja haha. Bukan anak yang aktif banget himpunan atau anak yang eksis di angkatan, tapi yaa diajakin mau gimana lagi haha. Sebagian orang juga gak nyangka kenapa saya mau ikut ke gunung. Padahal katanya gak ada muka2 suka manjat tuh. Hmm.. masa ya :( Apa wajah ini terlalu manja :( 

    Cus lah setelah beristirahat di masjid yang berada di Simpang Cisurupan tersebut kami melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil pickup bersama pendaki lain. Waktu itu kalau tidak salah ongkosnya sekitar 20.000 rupiah/orang. Lagi-lagi saya duduk di depan bersama supir haha. Perjalanannya agak berkelok-kelok dan supir yang saya tumpangi waktu itu sepertinya mantan pembalap F1, serem :( Perjalanan menuju pos pertama memakan waktu kurang lebih 15 menit-1/2jam (lupa2 inget). Disana mobil sama sekali sudah tidak bisa masuk dan itulah saatnya kami mendaki :)))) Yang paling ditunggu-tunggu yuhuuu. Aura-aura belerang sudah mulai terasa. Udara dingin sudah mulai merambah ke kulit dan wajah. Bebatuan sudah mulai terlihat dimana-mana. Ah rindu sekali rasanya. Lalu kami turun dari pickup dengan membawa perlengkapan dan carier. 

    Ini ceritanya baru banget nanjak.
    Sebetulnya Gunung Papandayan ini menurut saya sangat ramah untuk pendaki yang masih baru2. Karena medannya gak terlalu nanjak. Selain itu jalannya pun cukup besar. Namun perlu berhati-hati karna dilokasi itu jalannya penuh bebatuan dan kerikil. Kalau jatoh lumayan sih. Dan yang saya sukai dari gunung ini yaitu viewnya. Saking cantiknya lelah mendakipun kebayar lah pokonya.

    Kami berjalan sekitar hampir 2 jam untuk sampai ke Kawah Papandayan. Karena gunung ini merupakan gunung api yang masih aktif, disini terdapat beberapa kawah yang bisa kita nikmati dari kejauhan ya guys. Dari jauh saja bau belerangnya sudah tercium pekat. Oya disarankan sekali untuk bawa masker bagi yang gak tahan dengan bebauan.

    Ini sebagian kecil kepulan asap yang keluar dari sela-sela bebatuan
    Dulu, guru saya pernah bilang, ketika kamu memutuskan untuk mendaki, mendakilah semata-mata untuk mengagumi keagungan dari cipataan Tuhan. Bukan untuk sekedar gaya-gayaan yang ujungnya malah merusak alam. Mendakilah karena kamu dilahirkan di bumi, bukan di mars. Ketahuilah tempat dimana kamu berpijak. Karena bumi bukan hanya sekedar antara rumah dan sekolah. Bumi itu indah dan luas. Dan gunung hanya sebagian kecil keindahan yang bumi punya.

    Emang betul sekali guys. Kemanapun kita pergi, kita harus banyak-banyak mengucap MasyaAllah tanpa henti sepertinya. Karna bumi itu indah banget T_T
    Ditengah perjalanan, kami menemukan aliran sungai yang airnya jernih banget. Ternyata di gunung ini juga terdapat sumber mata air. Karena kami merasa sudah mulai lapar, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di atas bebatuan di pinggiran sungai sambil menyantap bekal yang kami bawa. Sebenernya saya agak deg-degan buat istirahat deket sungai. Karena waktu itu sedang musim hujan, saya khawatir aliran sungai tiba-tiba deras dan kamu terbawa arus dan hanyut entah kemana. Takut akutu, tapi engga untungnya haha.
    Lihatlah saya egois banget makan pake misting sendiri disaat yang lain makan pake kertas nasi wkwk. Im sorry guys.
    Foto bareng dulu biar OK :) Mapin mukanya rada hilang kendali jadi diblur :(



    Nah, jadi di Gunung Papandayan ini sebenernya kita kaya cuma bisa kemping di satu daerah aja. Mungkin daerah itu dianggap paling savety buat pendaki untuk bermalam. Namanya "Tegal Alun" Memang di Tegal Alun ini ternyata kondisi jalannya tidak seekstrem saat awal mendaki dan juga disini ternyata terdapat beberapa fasilitas pendukung seperti warung dan toilet. Jadi jangan khawatir pokonya. Disana juga kalian pasti bakal nemuin banyak pendaki lain yang berkemah. Lumayan bisa jadi ajang buat nambah temen. Temen loh ya, temen hihi.
    Di sana kami juga mendirikan tenda di tempat yang agak menjauh dari pendaki yang lain biar lebih privat wkwk. Kami mendirikan tenda diantara pohon2 gitu jadi letaknya agak tersembunyi. Kami disana bebas membuat api unggun dll asal tetap menjaga kebersihan setelahnya. 
    Perjalanan selanjutnya setelah mendirikan tenda yaitu menuju ke tempat yang paling hits banget di Papandayan. Iya, Hutan Mati namanya. Inilah saat yang tepat untuk berfutu-futu ria. Siapkan style terkecemu ya kalau kesini. 
    Salah satu sudut hutan mati
    Jadi konon katanya kenapa disebut sebagai hutan mati itu karena dulunya disini itu merupakan hutan pohon cantigi, namun hutan ini terkena letusan maha dahsyat Gunung Papandayan pada tahun 1772 dan akhirnya rata dengan abu vulkanik. Konon juga penduduk di sekitar terendam abu vulkanik. Waw, ngeri.

    Kawasan hutan mati yang dilihat dari sebrang bukit nih guys, keren banget kan MasyaAllah ;') (Abaikan muka yang menghalangi ini)

    Spot terakhir yang wajib dikunjungi yaitu ladang bunga Edelweiss (Tegal Alun). Bunga abadi yang luar biasa cantiknya. Edelweiss, Edelweiss, everymorning you great me. Small and white, clean and bright, you look happy to meet me... Jadi inget pramuka jaman smp  :') Yah kalian wajib kesini ya. Tapi sayangnya treknya memang agak sulit untuk dicapai. Jalannya lumayan sempit dan nanjaknya agak curam. Entah waktu itu yang kami lalui adalah jalan yg salah atau memang itu jalannya. Jalannyapun agak licin karna hujan.

    Hamparan ladang Edelweiss di Tegal Alun
    Jadi setelah sampai di puncak Tegal Alun, kita bakal disuguhi dengan hamparan semak-semak Edelweiss dan bukit-bukit hijau sepanjang mata memandang. Sedih banget rasanya pas denger kalau ladang ini kebakaran :( Gimana cara matiin apinya coba? :(

    Yah mungkin pengalaman yang aku ceritain disini gabisa ngegambarin pengalaman realnya. Yang pasti kalau pengen tau gimana sih indahnya Gunung Papandayan, dateng langsung aja kesana!

    Jadi, ini ceritaku, mana ceritamu? Mhehe

  • Diberdayakan oleh Blogger.

    GET A FREE QUOTE NOW

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat.

    ADDRESS

    Bandung City, Indonesia

    EMAIL

    edestikarani@gmail.com

    MOBILE

    +62 859 5006 9490

    LINE

    estides